------Original Message----- -
From: Billy N.
Sender: sehat@yahoogroups. com
To: e- Sehat
ReplyTo: sehat@yahoogroups. com
Subject: [sehat] hati-hati pada dokter?
Sent: Mar 7, 2009 10:48
halo rekan-rekan. . .. Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai
seorang dokter justru meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada
dokter.
Ini mengikuti tulisan Pak Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu,
yaitu mengenai 'caveat venditor' (produsen/penyedia jasa
berhati-hatilah) .
Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit
demam berdarah (DBD).
Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS swasta
yang terkenal cukup baik pelayanannya.
Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari
saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.
Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat,
nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas.
Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa
saya dokter pada petugas di RS,
jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari
dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' .
Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil
trombositnya tetap sama, 82 ribu.
Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu
baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik.
Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran
adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit
lambung),
padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali.
Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab..
Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari
padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung
& biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya
nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli.
Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS
tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar',
ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada
di RS. Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa
lab macam-macam,
setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang
untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.
Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite &
nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak.
Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya,
saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik,
obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi.
Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali.
Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak
sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal
Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak. Saya sampai cek di
internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan
atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya
beli suplemen vitamin aja dari resep. Pas saya serahkan obatnya ke
perawat,
dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju
diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang,
akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang
merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada
saya.
Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat
refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.
Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat
yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang
'bengong'.
Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD
juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal
& sudah 2 dipakai,
padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi
bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain.
Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong
'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya',
visite nggak sampai 3 menit saya hitung.
Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak
komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan.
Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang.
Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun
ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang
terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin'
untuk membeli
obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah
'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien
sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam
hanya untuk menunggu dokter visite.
Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh
saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan?
Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang
nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.
Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang
dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik
di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa
terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh
dokter penyakit dalamnya.
Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat
ke LN.
Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua
agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.
rgds Billy
From: Billy N.
Sender: sehat@yahoogroups. com
To: e- Sehat
ReplyTo: sehat@yahoogroups. com
Subject: [sehat] hati-hati pada dokter?
Sent: Mar 7, 2009 10:48
halo rekan-rekan. . .. Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai
seorang dokter justru meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada
dokter.
Ini mengikuti tulisan Pak Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu,
yaitu mengenai 'caveat venditor' (produsen/penyedia jasa
berhati-hatilah) .
Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit
demam berdarah (DBD).
Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS swasta
yang terkenal cukup baik pelayanannya.
Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari
saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.
Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak
mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat,
nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas.
Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa
saya dokter pada petugas di RS,
jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari
dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' .
Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil
trombositnya tetap sama, 82 ribu.
Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu
baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik.
Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran
adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit
lambung),
padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali.
Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab..
Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari
padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung
& biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya
nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli.
Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS
tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar',
ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada
di RS. Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa
lab macam-macam,
setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang
untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.
Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite &
nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak.
Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya,
saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik,
obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi.
Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali.
Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak
sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal
Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak. Saya sampai cek di
internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan
atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya
beli suplemen vitamin aja dari resep. Pas saya serahkan obatnya ke
perawat,
dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju
diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang,
akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang
merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada
saya.
Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat
refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.
Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang
tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung.
Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat
yang dia berikan. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang
'bengong'.
Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD
juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal
& sudah 2 dipakai,
padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi
bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain.
Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong
'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya',
visite nggak sampai 3 menit saya hitung.
Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak
komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan.
Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang.
Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun
ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang
terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin'
untuk membeli
obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah
'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien
sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam
hanya untuk menunggu dokter visite.
Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh
saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan?
Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang
nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.
Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang
dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik
di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa
terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh
dokter penyakit dalamnya.
Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan
masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat
ke LN.
Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua
agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.
rgds Billy
aneh2 aja dokter2 jaman sekarang ya. Udah kasus Prita, sekarang kasus Billy. Bahaya emang ke rumah sakit.
ReplyDeleteKalau dokternya gak bisa di ajak ngobrol, mending ganti dokter atau pindah rumah sakit aja lah.
Hati Tenteram, Badan cepet sembuh