Jarang-jarang ada artikel iptek di KOMPAS yang benar-benar aku setuju dari awal hingga akhir titik. hari Rabu, 16 Januari 2010 ini, Ibu Agnes Aristiarini menulis dengan dengan sangat bagus dan boleh dikata aku setuju hampir 100% apa yang ditulisnya.
oleh AGNES ARISTIARINI (KOMPAS)
Pekan ini, ketika warga Amerika Serikat diharu biru oleh gelandangan bersuara emas, Ted Williams (53), pengguna BlackBerry di Indonesia tengah geram terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan alasan mencegah pornografi, pemerintah hendak menutup fasilitas browsing di peranti telepon pintar itu.
Kisah Ted berawal dari video di situs YouTube yang ditayangkan surat kabar The Columbus Dispatch. Di video itu tampak gelandangan berambut awut-awutan meminta- minta sambil membawa tulisan bahwa dia mantan penyiar radio dan butuh bantuan. Mendengar suara baritonnya yang dalam, orang pun jatuh cinta.
Hanya dalam hitungan hari, video Williams dilihat jutaan kali. Simpati mengalir deras, juga tawaran kerja. Yang terutama baginya tentu saja adalah bertemu lagi dengan ibunya yang berusia 90 tahun setelah 20 tahun terpisah.
Di Indonesia, seperti dikutip kantor berita Antara, Kemkominfo mengancam memblokir akses internet apabila Research in Motion (RIM),
produsen BlackBerry, tidak menutup akses terhadap situs-situs porno. Kemkominfo menegaskan, pihaknya tidak melarang penggunaan BlackBerry dan berkeras tidak ada kepentingan apa pun dalam kebijakan ini.
Mengundang pertanyaan
Walau begitu, tetap saja orang mempertanyakan kebijakan Kemkominfo. Kalau memang tujuannya meniadakan akses ke situs porno, mengapa hanya BlackBerry yang disasar? Bukankah
perangkat elektronik apa pun— komputer, telepon genggam, dan papan elektronik—begitu mudah mengakses internet?
Alasan pornografi terasa mengada-ada karena meski pengguna BlackBerry di Indonesia sudah sekitar 2 juta dan tertinggi di kawasan Asia Pasifik, jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan 40 juta pengguna komputer di Tanah Air yang separuhnya punya koneksi internet. Mengakses lewat komputer sudah pasti lebih cepat, lebih jelas, dan lebih mantap.
Sebenarnya semua keberatan Kemkominfo terhadap RIM sudah mendapat jawaban benderang dalam dialog di jejaring sosial Twitter antara Menkominfo Tifatul Sembiring dan praktisi komunikasi Daniel Tumiwa. Mulai dari anggapan tidak membuka perwakilan, tidak ada layanan perbaikan, sampai tidak melibatkan tenaga kerja Indonesia, yang ternyata sudah ada semua.
Gugatan yang salah sasaran pun ada penjelasannya. Tifatul, yang mengingatkan RIM agar sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya peranti lunak, dijawab Daniel, ”RIM bukan pembuat content, tapi handset plus layanan.”
Ihwal permintaan memasang peranti lunak untuk memblokir situs porno, Daniel mengingatkan bahwa pemblokiran situs porno adalah salah satu konfigurasi browser. Karena itu, gugatan seharusnya ke distributor, bukan ke RIM. ”Aplikasi porno dari awal dilarang di Application World,” katanya.
Paradoks teknologi
Internet, yang bercirikan kebebasan sebagai mediumnya, memang membawa konsekuensi tersendiri. Tanpa keluasan dan keluwesan wawasan, semua informasi yang tersedia bisa menjadi momok baru. Maka, teknologi komunikasi pun jadi paradoks.
Dalam Introduction to Essential McLuhan (1995), Eric McLuhan dan Frank Zingrone mengingatkan bagaimana keingintahuan terhadap kejelasan informasi ini tarik-menarik dengan bias empirik sehingga menjadi pemicu keinginan mengontrol internet.
Padahal, internet tidak hanya menawarkan kejelasan informasi. YouTube, yang membantu Ted Williams menemukan kembali ibu dan kesejahteraannya, sudah banyak memunculkan bintang-bintang baru. Sebutlah Justine Bieber, penyanyi remaja asal Kanada, atau Charice, asal Filipina, yang kemudian menyanyikan lagu-lagu David Foster.
Di Indonesia, YouTube telah memopulerkan lagu ”Keong Racun” berikut Sintha dan Jojo yang memeragakannya. Namun, YouTube juga pernah dilarang pada 2008 untuk menutup akses terhadap film Fitna meski kemudian dibuka kembali disertai permintaan maaf pemerintah kepada masyarakat.
Belum lagi berbagai pengetahuan luar biasa yang dalam sekejap bisa ditemukan di internet: buku, hasil penelitian, berita, bahkan resep masakan hingga jejaring sosial.
Tidaklah mengherankan apabila Presiden Amerika Serikat Barack Obama terus berkampanye mendukung kebebasan penggunaan internet.
Bagi Obama, kebebasan mengakses informasi adalah hak universal, bersama dengan kebebasan berekspresi, beragama, dan ambil bagian dalam politik. ”Internet yang bebas adalah sumber kekuatan, bukan kelemahan,” ujarnya.
Kenetralan teknologi
Banyak orang percaya, pada hakikatnya, teknologi adalah netral. Menurut Collin Rule, Direktur Online Dispute Resolution, teknologi menjadi tidak netral karena mengadopsi bias individu yang menggunakannya untuk tujuan akhir tertentu.
Oleh karena itu, negara tidak perlu repot mengontrol teknologi dan informasi sebagai ikutannya. Menurut Dr Haryatmoko dalam bukunya, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (2007), perlindungan yang efektif pertama-tama justru bukan pelarangan, melainkan pendampingan anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka. Dengan cara itu, mereka dibantu menjaga energi kreativitas, termasuk kemampuan mengapresiasi, kepekaan seni, serta analisis kritis yang akan melindungi mereka dari gambar atau pesan yang merugikan.
Bagaimanapun apa yang ditawarkan dalam keterbukaan informasi banyak manfaat positifnya. Masyarakat pun sebenarnya cerdas memilah tanpa campur tangan pemerintah. Sudah saatnya Kemkominfo membuat kebijakan yang lebih mengakomodasi berbagai informasi yang bisa mempercepat kesejahteraan bangsa.
Meniti Paradoks Teknologi Informasi
oleh AGNES ARISTIARINI (KOMPAS)
Pekan ini, ketika warga Amerika Serikat diharu biru oleh gelandangan bersuara emas, Ted Williams (53), pengguna BlackBerry di Indonesia tengah geram terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dengan alasan mencegah pornografi, pemerintah hendak menutup fasilitas browsing di peranti telepon pintar itu.
Kisah Ted berawal dari video di situs YouTube yang ditayangkan surat kabar The Columbus Dispatch. Di video itu tampak gelandangan berambut awut-awutan meminta- minta sambil membawa tulisan bahwa dia mantan penyiar radio dan butuh bantuan. Mendengar suara baritonnya yang dalam, orang pun jatuh cinta.
Hanya dalam hitungan hari, video Williams dilihat jutaan kali. Simpati mengalir deras, juga tawaran kerja. Yang terutama baginya tentu saja adalah bertemu lagi dengan ibunya yang berusia 90 tahun setelah 20 tahun terpisah.
Di Indonesia, seperti dikutip kantor berita Antara, Kemkominfo mengancam memblokir akses internet apabila Research in Motion (RIM),
produsen BlackBerry, tidak menutup akses terhadap situs-situs porno. Kemkominfo menegaskan, pihaknya tidak melarang penggunaan BlackBerry dan berkeras tidak ada kepentingan apa pun dalam kebijakan ini.
Mengundang pertanyaan
Walau begitu, tetap saja orang mempertanyakan kebijakan Kemkominfo. Kalau memang tujuannya meniadakan akses ke situs porno, mengapa hanya BlackBerry yang disasar? Bukankah
perangkat elektronik apa pun— komputer, telepon genggam, dan papan elektronik—begitu mudah mengakses internet?
Alasan pornografi terasa mengada-ada karena meski pengguna BlackBerry di Indonesia sudah sekitar 2 juta dan tertinggi di kawasan Asia Pasifik, jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan 40 juta pengguna komputer di Tanah Air yang separuhnya punya koneksi internet. Mengakses lewat komputer sudah pasti lebih cepat, lebih jelas, dan lebih mantap.
Sebenarnya semua keberatan Kemkominfo terhadap RIM sudah mendapat jawaban benderang dalam dialog di jejaring sosial Twitter antara Menkominfo Tifatul Sembiring dan praktisi komunikasi Daniel Tumiwa. Mulai dari anggapan tidak membuka perwakilan, tidak ada layanan perbaikan, sampai tidak melibatkan tenaga kerja Indonesia, yang ternyata sudah ada semua.
Gugatan yang salah sasaran pun ada penjelasannya. Tifatul, yang mengingatkan RIM agar sebanyak mungkin menggunakan konten lokal Indonesia, khususnya peranti lunak, dijawab Daniel, ”RIM bukan pembuat content, tapi handset plus layanan.”
Ihwal permintaan memasang peranti lunak untuk memblokir situs porno, Daniel mengingatkan bahwa pemblokiran situs porno adalah salah satu konfigurasi browser. Karena itu, gugatan seharusnya ke distributor, bukan ke RIM. ”Aplikasi porno dari awal dilarang di Application World,” katanya.
Paradoks teknologi
Internet, yang bercirikan kebebasan sebagai mediumnya, memang membawa konsekuensi tersendiri. Tanpa keluasan dan keluwesan wawasan, semua informasi yang tersedia bisa menjadi momok baru. Maka, teknologi komunikasi pun jadi paradoks.
Dalam Introduction to Essential McLuhan (1995), Eric McLuhan dan Frank Zingrone mengingatkan bagaimana keingintahuan terhadap kejelasan informasi ini tarik-menarik dengan bias empirik sehingga menjadi pemicu keinginan mengontrol internet.
Padahal, internet tidak hanya menawarkan kejelasan informasi. YouTube, yang membantu Ted Williams menemukan kembali ibu dan kesejahteraannya, sudah banyak memunculkan bintang-bintang baru. Sebutlah Justine Bieber, penyanyi remaja asal Kanada, atau Charice, asal Filipina, yang kemudian menyanyikan lagu-lagu David Foster.
Di Indonesia, YouTube telah memopulerkan lagu ”Keong Racun” berikut Sintha dan Jojo yang memeragakannya. Namun, YouTube juga pernah dilarang pada 2008 untuk menutup akses terhadap film Fitna meski kemudian dibuka kembali disertai permintaan maaf pemerintah kepada masyarakat.
Belum lagi berbagai pengetahuan luar biasa yang dalam sekejap bisa ditemukan di internet: buku, hasil penelitian, berita, bahkan resep masakan hingga jejaring sosial.
Tidaklah mengherankan apabila Presiden Amerika Serikat Barack Obama terus berkampanye mendukung kebebasan penggunaan internet.
Bagi Obama, kebebasan mengakses informasi adalah hak universal, bersama dengan kebebasan berekspresi, beragama, dan ambil bagian dalam politik. ”Internet yang bebas adalah sumber kekuatan, bukan kelemahan,” ujarnya.
Kenetralan teknologi
Banyak orang percaya, pada hakikatnya, teknologi adalah netral. Menurut Collin Rule, Direktur Online Dispute Resolution, teknologi menjadi tidak netral karena mengadopsi bias individu yang menggunakannya untuk tujuan akhir tertentu.
Oleh karena itu, negara tidak perlu repot mengontrol teknologi dan informasi sebagai ikutannya. Menurut Dr Haryatmoko dalam bukunya, Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi (2007), perlindungan yang efektif pertama-tama justru bukan pelarangan, melainkan pendampingan anak-anak atau remaja dalam selera budaya mereka. Dengan cara itu, mereka dibantu menjaga energi kreativitas, termasuk kemampuan mengapresiasi, kepekaan seni, serta analisis kritis yang akan melindungi mereka dari gambar atau pesan yang merugikan.
Bagaimanapun apa yang ditawarkan dalam keterbukaan informasi banyak manfaat positifnya. Masyarakat pun sebenarnya cerdas memilah tanpa campur tangan pemerintah. Sudah saatnya Kemkominfo membuat kebijakan yang lebih mengakomodasi berbagai informasi yang bisa mempercepat kesejahteraan bangsa.
Comments
Post a Comment