Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Yo sahassaṁ sahassena, saṅgāme mānuse jine
Ekañ ca jeyya mattānaṁ, sa ve saṅgāmajuttamo
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.
(Dhammapada 103)
Membaca tema di atas, memang bisa membuat kita takut, karena biasanya banjir pasti identik disebabkan oleh air. Tetapi ada banjir yang malah dicari-dicari oleh semua orang; seperti banjir orderan, banjir omset, banjir hadiah, banjir penjualan, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kalau banjir disebabkan oleh air? Ada yang takut, ada juga yang biasa-biasa saja. Jika banjir itu menenggelamkan dan menghancurkan rumah, bahkan mematikan penghuninya, maka jelaslah menakutkan. Sedangkan kalau banjirnya hanya berupa genangan air atau sekadar luapan air laut pasang, ini tidak begitu menakutkan.
Semua ketakutan kita sesungguhnya bukan karena banjir air saja, tetapi ujung-ujungnya adalah takut dengan kematian. Memang benar seperti disebutkan dalam (Aṅguttara Nikàya IV, 184) oleh seorang brahmana bernama Janussoni kepada Sang Buddha.
Banjir yang disebabkan oleh air memang sering membawa bencana dan korban jiwa, tetapi itu belum seberapa. Coba jika banjir tersebut disebabkan oleh lobha, dosa, dan moha, ini baru banjir yang harus kita waspadai setiap saat karena banjir oleh hal tersebut akan memakan korban setiap saat dan berkepanjangan. Contohnya pada beberapa kejadian/peristiwa peperangan seperti yang dilakukan Israel terhadap Palestina di jalur gaza beberapa minggu lalu. Dari keserakahan (lobha) yang dimiliki orang Israel membuat rakyat Palestina menderita, bangunan rumah, gedung-gedung, rumah sakit dan lain-lainnya hancur luluh lantak rata dengan tanah. Banyak anak-anak yang menderita, banyak korban jiwa, semua ini disebabkan keinginan menguasai lalu disertai kebencian dan menganggap hal tersebut sebagai hal yang benar menurutnya.
Jadi, itulah dahsyatnya, jika kita juga tidak hati-hati maka lobha akan menguasai kita, dosa akan menguasai kita, demikian juga dengan kegelapan batin. Lihat saja di beberapa daerah sering terjadi kebanjiran, tanah longsor, dan lain sebagainya. Semua itu disebabkan oleh manusianya juga yang suka melakukan penebangan pohon, membabati hutan, menambang emas, manambang batu bara, dan lain-lainnya lalu terjadi kegundulan. Ketika musim hujan tiba, pohon-pohon yang biasa berfungsi menyerap air tidak ada lagi, maka air langsung turun ke sungai, sebagai akibatnya daerah perkampungan penduduk atau daerah perkotaan selalu kedatangan air yang berlebihan sehingga menyebabkan banjir.
Lalu bagaimana caranya agar banjir lobha, dosa, dan moha tidak menguasai diri kita? Ya mulailah untuk melakukan kebajikan dengan cara berdana/memberi, menyisihkan sebagian dari milik kita. Dengan berdana/memberi, kita mengurangi lobha, dengan memberi kita mengurangi dosa karena tidak ada rasa kebencian pada orang lain, dan dengan demikian, kegelapan batin kita tidak ada jika kita telah mengerti mana yang baik, mana yang berguna dan mana yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Selain telah berbuat baik dengan cara berdana, kebaikan ini harus ditingkatkan dengan kebajikan yang setingkat lebih tinggi yaitu pelaksanaan sila, dan selanjutnya melakukan meditasi.
Mengapa kita berbuat baik? Bukankah kita sudah jadi orang baik? Jika kita sudah mengerti Dhamma, pertanyaan tersebut tidak seharusnya dipertanyakan karena apa yang kita miliki/ nikmati sekarang ini adalah buah karma masa lalu. Jika kita merasa jadi orang baik dan tidak mau berbuat baik lagi, ini Sang Buddha katakan makan makanan sisa/basi.
Kembali kepada hal di atas, sekarang sebagian dari kita hidupnya beruntung, berkecukupan, tidak kekurangan, tinggal di lingkungan yang aman dan sesuai, mungkin juga tidak kebanjiran. Lalu kenapa kita termasuk orang yang beruntung, tidak kekurangan, dan tinggal di lingkungan yang aman? Hal ini dikatakan dalam Maṅgala Sutta sebagai berkah utama. Darimana datangnya berkah tersebut? Berkah datangnya dari timbunan/perbuatan baik masa lalu.
Setelah kita mengerti bahwa apa yang kita miliki/nikmati sekarang ini hasil dari perbuatan masa lalu, maka dari saat ini kita harus selalu sadar untuk mengisi kehidupan ini dengan kebajikan. Karena dikatakan dalam Aniyata Dhamma “jivitaṁ aniyataṁ maranaṁ niyataṁ”, bahwa kehidupan kita ini tidak pasti, tetapi kematian yang pasti (pasti akan kita hadapi). Dikatakan tidak pasti karena setiap saat selalu tidak sama, seperti misalnya: kemarin kita dapat rejeki banyak, tetapi hari ini tidak. Demikian juga hari ini kita baik, sehat, bahagia, tetapi besok malam belum tentu seperti pada hari ini dan lain sebagainya.
Sebagai yang terakhir, untuk menghadapi banjir air dan banjir lobha, dosa, dan moha, adalah semuanya melalui kebajikan.
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā
Oleh: Bhikkhu Chandaviro
(08 Februari 2009)
nb : sori waktu masukin gambar, internal error bla bla please contact admin blablaba....
renungan yg bgs, ko yy...
ReplyDeleteIya bagus tuh... gak kalah sama Willy he.he.he.
ReplyDeleteEh aku jadi penasaran, internal error gmn sih? km gmn cara nambahin gambarnya? kalo dari internet, klik kanan copy image location
trus waktu buat posting, di kiri atas kan ada add media, klik icon no 1 sebelah kanan add media, pilih From URL, paste di kotak pertama, trus ok ok aja.. beres lah..
Mungkin krn fasilitas kantor, dibatasi pemakaiannya jd eror.
ReplyDeletehahahah YY.. kirain banjir apaan!
ReplyDeleteudah deg deg an kirain bakal ada banjir beneran!
btw, nice posting!